PEMENANG SAYEMBARA MONOLOG INGGIT GARNASIH

Monolog Cerpen

BELAJAR MONOLOG

Pertama kali belajar monolog ketika mengikuti Mini Sayembara Monolog Voice yang diselenggarakan oleh Sanggar Omah Sastra dan Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk (KOPLING). Sebelum ikut lomba, saya sama sekali tidak tahu tentang monolog. Namun, setelah mendengar adanya sayembara yang disampaikan oleh Mas Heru Sang Amuwarbumi. Saya tergugah untuk mempelajarinya. Kalah atau menang urusan belakangan. Ilmu baru memang kerap kali membuat saya kalap untuk menguliknya. Hingga dapat kesimpulan tentang monolog versi saya.

Monolog adalah percakapan atau narasi yang disampaikan oleh satu tokoh untuk dirinya sendiri tanpa balasan.

Sayembara lomba tersebut, kan, voice monolog dari sebuah cerpen dengan judul ‘Aku Memilih Menjadi Air’ karya Heru Sang Amuwarbumi yang dipublikasikan di media massa nasional—Solopos ID. Jadi sebelum merekam voice, saya harus meng-convert cerpen menjadi naskah monolog. Kemudian merekam voice saya.

Cerpen Lengkap: AKU MEMILIH MENJADI AIR

NASKAH MONOLOG

MONOLOG DARI CERPEN

Heru Sang Amuwarbumi

Berjudul

“AKU MEMILIH MENJADI AIR “ 

Ketika Cinta Hanya Sampai Gerbang Kemerdekaan 

Monolog Cerpen - Dwi Noviyanti

Engkau adalah tamu suamiku—Kang Uci yang akan menempati indekos rumahku. Yang belakangan, baru aku ketahui bahwa kau menantu Haji Umar Said Cokroaminoto—teman Kang Uci. Kau bertubuh gagah, dahimu lebar mencerminkan berapa luas ilmu yang kau kuasai. Tamu istimewa yang membuatku terpesona. Iya, itu engkau, Ngkus. Lalu kita pun berjabat tangan. Disaat kita bersentuhan ada desir yang menjalar.

Kehadiranmu mengusir hari-hari sepiku tatkala Kang Uci bepergian mengurusi Syariat Dagang Islam. Hingga perasaan terlarang ini bersemi. Hanya butuh tiga bulan, cinta diantara kita merekah. Namun, aku resah. Kita, sama-sama memiliki pasangan. Lalu, kau menenangkan keresahanku dengan berakata, “Cinta berhak memilih tuannya. Ia tak pernah bisa dihalang-halangi kepada siapa berlabuh.”

Kau ingat, Ngkus. Ketika kau dengan berani megutarakan ingin menikah denganku dihadapan suamiku. Tentu saja aku terbelalak, meskipun tersipu dalam diam. Namun, tak kusangka ternyata Kang Uci rela melepaskanku demi kau nikahi. Membuatku merasa sangat … bersalah. Aku hanya sanggup mengatakan, “Hampura … Hampura Akang … Hampura.”

Ternyata tidak hanya Kang Uci, tapi mertuamu pun tak keberatan kau menikahiku. Merelakan anaknya—Utari, berpisah denganmu. Tanggal 4 Maret 1923 menjadi hari bersejarah. Kita resmi, menjadi sepasang suami istri.

Menjadi istri seorang aktivis kemerdekaan sepertimu membuatku bergairah. Hariku tidak hanya disibukkan menyiapkan kopi atau makan untukmu seorang. Melainkan melayani tamu yang hilir mudik di rumah kecil kita di Javavemeg. Bahkan aku turut membantumu menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda. Bahasa yang tidak dimengerti Belanda. Agar mereka tidak mengetahui rencana dan taktik yang kau dan kawan-kawanmu bicarakan. Pembicaraan melawan Belanda demi mencapai kemerdekaan bangsa kita.

Ngkus, sebenarnya aku takut kala kau ajak menelusuri pelosok Jawa demi memberi pendidikan politik kepada orang-orang pribumi. Agar mereka turut berjuang memerdekaan bangsa dan bersama melawan Belanda. Namun, aku tidak ingin merusak impian yang selalu kau kobarkan.

Dan akhirnya, ketakutanku menjelma. Belanda mengetahui pergerakanmu dan menjebloskanmu ke penjara Banceuy. Setelah empat puluh hari ditahan akhirnya aku membesukmu. Ingatkah kau, Ngkus. Pertemuan kita dalam penjara. Di ruang sempit dan temaram. Kita duduk berhadapan dibatasi jaring kawat. Kita bertukar senyum, melepas rindu yang mengendap. Kau betulkan bunga merah yang terselip disanggulku. Lalu berkata, “Sekuntum bunga merah yang melekat disanggul ini, dan satu senyuman yang menyilaukan mata. Segala percikan api yang dapat memancar dari seorang anak dua puluhan tahun, dan masih hijau tak berpengalaman, menyambar-nyambar kepada seorang perempuan berumur tiga puluhan yang sudah matang dan berpengalaman.”

Tahukah, Ngkus, aku terbuai dari setiap kata yang kau ucap. Kalimat indahmu menguatkanku disaat tanpa kehadiranmu. Pidato Indonesia Menggunggat yang kau suarakan di sidang Pengadilan Landraad tidak serta merta membebaskanmu dan menahanmu selama empat tahun.

Aku nelangsa tanpamu, tapi tetap harus bertahan. Demi menyambung hidup bersama ibu dan anak angkat kita—Ratna Juami, aku menjahit baju, menjual kutang, bedak, rokok, dan cangkul. Akhirnya kau bebas, tapi Belanda tidak membiarkannya. Hingga kembali menangkapmu. Bahkan membuangmu ke Ende—Flores. Saat itu pertama kalinya aku menangisimu. Hatiku perih melihat sang pujaan hati terseok dalam pembuangan. Tanpa berpikir jernih aku nekat membawa ibu dan Ratna ke tempat asing yang tak pernah kudengar sebelumnya. Ya, aku menyusulmu ke Ende. Di sana aku berjualan jamu gendong demi bertahan hidup dan menyusup agar dapat menemuimu.

Lima tahun kita di Ende dan kau terserang malaria. Beruntung Pemerintah Hindia Belanda masih memiliki rasa kemanusiaan. Hingga kau dipindah ke Bengkulu. Tak perlu kau ragukan, Ngkus, aku masih setia mendampingimu—bertolak ke Bengkulu, menyusulmu.

Namun, malapetaka itu terjadi di sana—pernikahan kita diuji. Pernikahan dua puluh tahun, retak seketika. Saat aku tertatih bertahan hidup dan berusaha setia mendampingimu. Kau kembali bermain cinta dengan wanita Bengkulu. Kau! Mendua … Ngkus. Kau mengkhianati cinta kita. Kesetiaanku kau cabik. Lalu, dengan berani kau meminta restuku untuk menikahi gadis bernama Fatmawati. Tidak. Tidak! Ngkus. Aku tidak mau dimadu. Aku lebih baik sendiri daripada harus berbagi. Kebersamaan kita berakhir. Aku kembali ke Bandung dengan perasaan hancur dan teriris. Sedangkan Kau! Ke Jakarta dan menikah! Di sana.

Hingga suatu masa tersiar bangsa kita merdeka. Impianmu terwujud, Ngkus. Aku turut bahagia meskipun sedih. Teringat kala membersamaimu berjuang melawan Belanda demi merebut kemerdekaan. Aku telah mengantarmu ke gerbang kemerdekaan yang kau impikan.

Aku memilih menjadi air. Air yang jatuh meresap ke dalam tanah. Tidak perlu terlihat. Aku memilih menjadi air yang akan menyuburkan di atasnya agar tumbuh pepohonan berdaun rindang dan berbuah lebat. Untuk kehidupan semuanya.

Untuk terakhir kalinya aku menemuimu di Wisma Yaso. Namun, hanya bertemu tubuhmu yang terbujur kaku. Hingga tak kuasa menyapamu. Hanya rasa pilu yang menyergap dan lirih berkata, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun.”

Aku tak kuasa melihat jasadmu. Hingga nyaris ambruk dan Yu Sukarmini—kakakmu yang memapahku. Kau dibuat menderita di hari-hari terakhirmu, tetapi tak mungkin mereka bisa menghapus sejarah bangsa kita beserta pengorbananmu. Juga kisah cinta kita. Tidak bisa! Disampingmu kuletakkan sekuntum bunga merah yang dulu selalu kau selipkan disanggulku. Bersama kecupanku yang hangat dan selalu hangat.

Inggit Garnasih

PEMENANG SAYEMBARA MONOLOG INGGIT GARNASIH PEMENANG SAYEMBARA MONOLOG INGGIT GARNASIH Reviewed by Dwi Noviyanti on August 19, 2023 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.