Dinda menerima surat panggilan sidang pertama. Perang yang sesungguhnya dimulai Senin mendatang. Masih ada waktu seminggu baginya untuk belajar bicara dengan baik. Selama ini Haikal selalu berhasil mengintimidasi. Membuatnya tidak bisa berkata-kata dan hanya diam melihat tabiat buruknya. Bahkan membuat malu Dinda dengan tingkahnya yang seperti Don Juan.
Beberapa kali Dinda dikagetkan dengan
pesan atau telepon dari teman-teman wanitanya. Mereka mengeluh tentang Haikal
yang tiba-tiba menghubungi dan merayu mereka. Mengajak pergi atau sekedar
makan berduaan. Alasannya sedang ada masalah dengan Dinda.
“Din, ini suami lu, kan? Kok gitu sih
bahasanya, kesannya kaya lagi ngegodain gue.”
“Hai Beb, kamu lagi ada masalah apa sama
suami? Haikal kemarin telepon, katanya udah di depan apartemenku subuh-subuh. Mau
curhat gitu katanya.”
Tidak hanya itu. Sahabat baik Dinda pun
tidak luput dirayu oleh Haikal. Bahkan sahabatnya sempat terpengaruh dan menjauh
darinya. Saat itu dia hanya diam, tidak membicarakannya kepada Haikal, dan hanya meminta teman-temannya memblockir nomor.
Pernah satu kali Dinda mengetahui perselingkuhan
suami dengan wanita asal Kota Balik Papan di akun media social. Sang wanita
terpedaya dengan bujuk rayu dan tergiur janji akan dinikahi apabila ke Jakarta.
Ketika Dinda minta penjelasan perselingkuhan tersebut. Haikal melukai dirinya
dengan menampar, memukul, dan mencakar wajahnya sendiri. Hingga akhirnya Dinda
menghentikan tindakan tersebut dengan memeluk Haikal. Kemudian memaafkannya.
Tidak hanya mengenai perselingkuhan. Selama menikah, Dinda tidak dinafkahi secara layak. Biaya hidupnya
hasil dari dia bekerja. Dinda tidak pernah tahu uang yang Haikal hasilkan perginya
kemana. Ketika ditanya hanya amarah yang diterimanya. Bahkan kerap kali menjual
nama Dinda untuk meminjam uang ke teman atau sanak saudara.
Kali ini tekadnya sudah bulat untuk
berpisah. Dinda sudah jengah atas perlakuan buruk Haikal yang selama ini
diterimanya. Secarik kertas undangan sidang dari Kantor Pengadilan Agama
memberi secercah harapan baginya dan Rasa.
Dinda menyiapkan diri secara lahir dan
batin menghadapi persidangan pertama. Selain berdialog dengan Tuhan tanpa
putus. Dia pun meminta bantuan temannya yang seorang aktivis hukum. Belajar berbicara
dengan baik dan gestur tubuh ketika berhadapan dengan orang yang pandai
bersilat lidah seperti Haikal.
***
Hari ini sidang dijadwalkan pukul 09.00
WIB. Dinda datang satu jam lebih awal. Berharap dapat nomor antrian pertama
agar selesai sidang, bisa bekerja setengah hari. Namun, nyatanya Kantor Pengadilan Agama sangat
ramai. Bahkan sepagi itu, Dinda mendapat nomor antrian ke-11.
Dinda pergi menghadiri sidang pertama
seorang diri. Dia sangat percaya diri karena memiliki bekal hasil belajar dari
temannya. Intuisi mengatakan kalau Haikal tidak akan datang. Hingga menolak
tawaran adik yang ingin menemaninya.
“Ga usah, Dek. Kakak sendirian aja,
lagian kamu baru balik gawe,” tutur Dinda.
Di kursi tunggu, Dinda membuka
pembicaraan dengan wanita disampingnya. Menghalau rasa gugup yang kian menjalar
kala nomor antrian pertama dipanggil. Ternyata tujuan wanita yang dia ajak
bicara tidak jauh berbeda. Ingin melepas belenggu dari lelaki yang tidak
bertanggung jawab.
Ketika matanya berpendar ke setiap penjuru
ruangan. Dinda terkejut melihat sosok lelaki sedang berjongkok di balik
dispenser besar.
“Itu
Haikal!” pekik Dinda dalam hati.
Jantungnya berdebar tak karuan. Panik
merajam. Tangannya dengan sigap menghubungi adiknya. Kaki dan tangannya tremor
saat sambungan telepon belum diangkat.
“Dek! Temani Kakak! Haikal datang, jalan
sekarang, ya …!” seru Dinda panik.
“Iya, iya, berangkat sekarang. Kakak
jangan panik, aku usahain sepuluh menit sampai.”
Sambungan telepon pun terputus. Dinda
tidak berani melihat ke arah dispenser. Dia hanya memainkan telepon genggamnya.
Memposting nomor antrian di media social. Dukungan dan doa dari teman serta
keluarga mengalir. Terutama, mereka yang mengetahui kisahnya. Tak lama Adik Dinda
datang. Letak dispenser tempat Haikal bersembunyi berada dekat pintu masuk.
Sehingga berpapasan dengan adiknya. Mereka terlihat saling menyapa.
“Dek, sini!” panggil Dinda seraya
melambaikan tangan.
“Kan tadi udah dibilang, aku temenin
kesini,” kata Adiknya.
“Dari tadi Kakak celingak-celinguk, gak
ada dia. Aman dong pikir Kakak. Eh … ternyata dia ngumpet di situ,” sungut
Dinda.
Nomor antrian dan namanya dipanggil, dia
pun berdiri dan lirih berucap, “Bissmillahirrohmanirrohim.”
Dinda beserta adiknya, disusul Haikal
masuk ke ruang sidang. Mereka menempati kursi yang tersedia. Dinda dan Haikal
duduk sejajar dengan jarak sekitar satu meter. Sedangkan adiknya duduk di kursi
jajaran belakang—bersisian tembok—kursi yang disediakan untuk pengunjung
sidang.
Di hadapan mereka terdapat meja hijau—meja
panjang yang berlatar hijau, disertai tiga kursi besar dengan warna serupa.
Kursi tersebut ditempati oleh Majelis Hakim yang usianya sudah paruh baya.
Hakim Ketua—menempati kursi tengah, lelaki satu-satunya dalam Majelis Hakim.
Sedangkan sisi kanan dan kiri ditempati Hakim Anggota.
Hakim Ketua memulai sidang dengan
membacakan judul perkara gugatan. Mengucapkan kalimat basmalah kemudian
mengetuk palu.
“Usia pernikahan baru lima tahun dan
sudah dikaruniai anak juga. Apa tidak mau rujuk saja?” tanya Hakim Ketua.
“Tidak Pak! Saya ingin melanjutkan
sidang,” jawab Dinda.
“Kalau Bapak, gimana?” tanya Hakim Ketua
kepada Haikal.
“Lanjutkan, Pak,” jawab Haikal.
“Bapaknya sudah lama tidak pulang, ya?”
Salah satu Hakim Anggota bertanya kepada
Haikal setelah membaca berkas gugatan. Haikal bergeming, tidak menjawab.
“Dia sudah menikah lagi, Bu!” seru Dinda.
“Setiap pagi, suami tidak disediakan
kopi atau teh, apalagi sarapan. Itu alasan saya menikah lagi,” jawab Haikal.
Spontan, semua orang yang berada dalam
ruang sidang menoleh ke arah Haikal. Termasuk Dinda yang berusaha mencerna
pernyataannya dan berusaha keras mengorek ingatan. Seingatnya selama pernikahan,
justru Haikal yang menolak untuk disiapkan sarapan. Dia hanya minta disajikan
segelas air putih. Itu yang dilakukan Dinda—menyediakan air putih, tapi kenapa
dia berkata demikian di hadapan Majelis Hakim. Membuat Hakim Ketua tertawa
mendengar pernyataan Haikal.
“Oh … jadi itu alasan Bapak menikah lagi,”
ujar Hakim Ketua seraya menahan tawa.
“Bapaknya kurang perhatian dari Ibu tuh,
makanya cari wanita lain,” canda salah satu Hakim Anggota.
Tiba-tiba terdengar suara bel. Tak lama
muncul seorang petugas yang menghampiri meja hijau. Majelis Hakim memberikan
semua berkas gugatan perceraian Dinda. Lalu memintanya untuk pergi menuju
sebuah ruangan.
“Baik, sekarang Ibu dan Bapak ke ruang
mediasi dulu. Ikuti petugas itu,” titah Hakim Ketua.
Dinda dan Haikal diarahkan ke ruangan
yang berada tidak jauh dari ruang sidang. Kali ini adiknya tidak diperbolehkan
masuk.
“Sial!
gara-gara si kunyuk datang, jadi lama begini, kan, huh,”
gerutu Dinda dalam hati.
Bersambung
….
No comments: