INTUISI #3 Meja Hijau

 


Dinda menerima surat panggilan sidang pertama. Perang yang sesungguhnya dimulai Senin mendatang. Masih ada waktu seminggu baginya untuk belajar bicara dengan baik. Selama ini Haikal selalu berhasil mengintimidasi. Membuatnya tidak bisa berkata-kata dan hanya diam melihat tabiat buruknya. Bahkan membuat malu Dinda dengan tingkahnya yang seperti Don Juan.

Beberapa kali Dinda dikagetkan dengan pesan atau telepon dari teman-teman wanitanya. Mereka mengeluh tentang Haikal yang tiba-tiba menghubungi dan merayu mereka. Mengajak pergi atau sekedar makan berduaan. Alasannya sedang ada masalah dengan Dinda.

“Din, ini suami lu, kan? Kok gitu sih bahasanya, kesannya kaya lagi ngegodain gue.”

“Hai Beb, kamu lagi ada masalah apa sama suami? Haikal kemarin telepon, katanya udah di depan apartemenku subuh-subuh. Mau curhat gitu katanya.”

Tidak hanya itu. Sahabat baik Dinda pun tidak luput dirayu oleh Haikal. Bahkan sahabatnya sempat terpengaruh dan menjauh darinya. Saat itu dia hanya diam, tidak membicarakannya kepada Haikal, dan hanya meminta teman-temannya memblockir nomor. 

Pernah satu kali Dinda mengetahui perselingkuhan suami dengan wanita asal Kota Balik Papan di akun media social. Sang wanita terpedaya dengan bujuk rayu dan tergiur janji akan dinikahi apabila ke Jakarta. Ketika Dinda minta penjelasan perselingkuhan tersebut. Haikal melukai dirinya dengan menampar, memukul, dan mencakar wajahnya sendiri. Hingga akhirnya Dinda menghentikan tindakan tersebut dengan memeluk Haikal. Kemudian memaafkannya.

Tidak hanya mengenai perselingkuhan. Selama menikah, Dinda tidak dinafkahi secara layak. Biaya hidupnya hasil dari dia bekerja. Dinda tidak pernah tahu uang yang Haikal hasilkan perginya kemana. Ketika ditanya hanya amarah yang diterimanya. Bahkan kerap kali menjual nama Dinda untuk meminjam uang ke teman atau sanak saudara.

Kali ini tekadnya sudah bulat untuk berpisah. Dinda sudah jengah atas perlakuan buruk Haikal yang selama ini diterimanya. Secarik kertas undangan sidang dari Kantor Pengadilan Agama memberi secercah harapan baginya dan Rasa.

Dinda menyiapkan diri secara lahir dan batin menghadapi persidangan pertama. Selain berdialog dengan Tuhan tanpa putus. Dia pun meminta bantuan temannya yang seorang aktivis hukum. Belajar berbicara dengan baik dan gestur tubuh ketika berhadapan dengan orang yang pandai bersilat lidah seperti Haikal.

***

Hari ini sidang dijadwalkan pukul 09.00 WIB. Dinda datang satu jam lebih awal. Berharap dapat nomor antrian pertama agar selesai sidang, bisa bekerja setengah hari. Namun, nyatanya Kantor Pengadilan Agama sangat ramai. Bahkan sepagi itu, Dinda mendapat nomor antrian ke-11.

Dinda pergi menghadiri sidang pertama seorang diri. Dia sangat percaya diri karena memiliki bekal hasil belajar dari temannya. Intuisi mengatakan kalau Haikal tidak akan datang. Hingga menolak tawaran adik yang ingin menemaninya.

“Ga usah, Dek. Kakak sendirian aja, lagian kamu baru balik gawe,” tutur Dinda.

Di kursi tunggu, Dinda membuka pembicaraan dengan wanita disampingnya. Menghalau rasa gugup yang kian menjalar kala nomor antrian pertama dipanggil. Ternyata tujuan wanita yang dia ajak bicara tidak jauh berbeda. Ingin melepas belenggu dari lelaki yang tidak bertanggung jawab.

Ketika matanya berpendar ke setiap penjuru ruangan. Dinda terkejut melihat sosok lelaki sedang berjongkok di balik dispenser besar.

“Itu Haikal!” pekik Dinda dalam hati.

Jantungnya berdebar tak karuan. Panik merajam. Tangannya dengan sigap menghubungi adiknya. Kaki dan tangannya tremor saat sambungan telepon belum diangkat.

“Dek! Temani Kakak! Haikal datang, jalan sekarang, ya …!” seru Dinda panik.

“Iya, iya, berangkat sekarang. Kakak jangan panik, aku usahain sepuluh menit sampai.”

Sambungan telepon pun terputus. Dinda tidak berani melihat ke arah dispenser. Dia hanya memainkan telepon genggamnya. Memposting nomor antrian di media social. Dukungan dan doa dari teman serta keluarga mengalir. Terutama, mereka yang mengetahui kisahnya. Tak lama Adik Dinda datang. Letak dispenser tempat Haikal bersembunyi berada dekat pintu masuk. Sehingga berpapasan dengan adiknya. Mereka terlihat saling menyapa.

“Dek, sini!” panggil Dinda seraya melambaikan tangan.

“Kan tadi udah dibilang, aku temenin kesini,” kata Adiknya.

“Dari tadi Kakak celingak-celinguk, gak ada dia. Aman dong pikir Kakak. Eh … ternyata dia ngumpet di situ,” sungut Dinda.

Nomor antrian dan namanya dipanggil, dia pun berdiri dan lirih berucap, “Bissmillahirrohmanirrohim.”

Dinda beserta adiknya, disusul Haikal masuk ke ruang sidang. Mereka menempati kursi yang tersedia. Dinda dan Haikal duduk sejajar dengan jarak sekitar satu meter. Sedangkan adiknya duduk di kursi jajaran belakang—bersisian tembok—kursi yang disediakan untuk pengunjung sidang.

Di hadapan mereka terdapat meja hijau—meja panjang yang berlatar hijau, disertai tiga kursi besar dengan warna serupa. Kursi tersebut ditempati oleh Majelis Hakim yang usianya sudah paruh baya. Hakim Ketua—menempati kursi tengah, lelaki satu-satunya dalam Majelis Hakim. Sedangkan sisi kanan dan kiri ditempati Hakim Anggota.

Hakim Ketua memulai sidang dengan membacakan judul perkara gugatan. Mengucapkan kalimat basmalah kemudian mengetuk palu.

“Usia pernikahan baru lima tahun dan sudah dikaruniai anak juga. Apa tidak mau rujuk saja?” tanya Hakim Ketua.

“Tidak Pak! Saya ingin melanjutkan sidang,” jawab Dinda.

“Kalau Bapak, gimana?” tanya Hakim Ketua kepada Haikal.

“Lanjutkan, Pak,” jawab Haikal.

“Bapaknya sudah lama tidak pulang, ya?”

Salah satu Hakim Anggota bertanya kepada Haikal setelah membaca berkas gugatan. Haikal bergeming, tidak menjawab.

“Dia sudah menikah lagi, Bu!” seru Dinda.

“Setiap pagi, suami tidak disediakan kopi atau teh, apalagi sarapan. Itu alasan saya menikah lagi,” jawab Haikal.

Spontan, semua orang yang berada dalam ruang sidang menoleh ke arah Haikal. Termasuk Dinda yang berusaha mencerna pernyataannya dan berusaha keras mengorek ingatan. Seingatnya selama pernikahan, justru Haikal yang menolak untuk disiapkan sarapan. Dia hanya minta disajikan segelas air putih. Itu yang dilakukan Dinda—menyediakan air putih, tapi kenapa dia berkata demikian di hadapan Majelis Hakim. Membuat Hakim Ketua tertawa mendengar pernyataan Haikal.

“Oh … jadi itu alasan Bapak menikah lagi,” ujar Hakim Ketua seraya menahan tawa.

“Bapaknya kurang perhatian dari Ibu tuh, makanya cari wanita lain,” canda salah satu Hakim Anggota.

Tiba-tiba terdengar suara bel. Tak lama muncul seorang petugas yang menghampiri meja hijau. Majelis Hakim memberikan semua berkas gugatan perceraian Dinda. Lalu memintanya untuk pergi menuju sebuah ruangan.

“Baik, sekarang Ibu dan Bapak ke ruang mediasi dulu. Ikuti petugas itu,” titah Hakim Ketua.

Dinda dan Haikal diarahkan ke ruangan yang berada tidak jauh dari ruang sidang. Kali ini adiknya tidak diperbolehkan masuk.

“Sial! gara-gara si kunyuk datang, jadi lama begini, kan, huh,” gerutu Dinda dalam hati.

 

 

 

Bersambung ….

INTUISI #3 Meja Hijau INTUISI #3 Meja Hijau Reviewed by Dwi Noviyanti on July 15, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.