INTUISI #4 Ruang Mediasi

 


“Sial! gara-gara si kunyuk datang, jadi lama begini, kan, huh.”

Dinda menggerutu kala petugas pengadilan menggiringnya mengarah ke sebuah ruangan. Terlebih lagi adiknya tidak diperkenankan masuk. Tidak ada yang akan membantunya jika Haikal melakukan sesuatu yang tidak diinginkan dalam ruangan itu. Akhirnya Dinda tiba di depan ruangan yang daun pintunya tertulis—Ruang Mediasi.

Mereka berdua disambut oleh dua wanita beda usia. Duduk berhadapan di kedua ujung meja panjang nan besar. Wanita yang berusia setengah baya mempersilakan Dinda dan Haikal duduk. Duduk dikedua sisinya hingga saling berhadapan. Beliau adalah Hakim Mediasi—mediator—membantu menengahi perkara perceraian, menempuh jalur damai—rujuk.

Mediator memperkenalkan wanita yang berada di ujung meja, sebagai juru tulis. Sebelum mediasi dimulai, mediator menyampaikan bahwa ada biaya untuk cetak hasil putusan  ruang mediasi. Dinda dengan cekatan membuka dompet dan mengeluarkan uang sejumlah yang disebutkan.

“Bapak yang bayar dong. Biaya gugatan sudah ditanggung ibu, masa masih ibunya juga yang bayar,” sindir Mediator.

Haikal terpaksa mengeluarkan uang dari saku jeans yang paling kecil dengan sedikit usaha. Hingga keluar selembar uang berwarna merah kumal dan lecek. Dinda pun kembali memasukkan uang yang sudah dia letakkan di meja ke dalam dompetnya.

Mediator memulai mediasi dengan membaca berkas perkara gugatan dan mulai membujuk Dinda dan Haikal. Namun, Dinda tetap pada pendiriannya, berpisah. Lagi, Haikal mengutarakan pernyataannya terkait sarapan—kopi dan teh, yang tidak disuguhkan. Seolah hal tersebut dapat membenarkan perbuatannya yang menikah lagi tanpa seizin Dinda.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mediator kepada Dinda.

“Sudah lebih dari tiga bulan, dia tidak memberikan nafkah. Untung saya bekerja sehingga bisa membeli susu dan kebutuhan anak,” jelas Dinda.

“Saya memang tidak memberi nafkah karena usaha saya sedang rugi. Lagian ada uang kontrakan untuk menafkahi anak saya,” sanggah Haikal.

Dinda memicingkan mata ke arah Haikal setelah mendengar sanggahannya, lalu membantah, “Maaf, Bu, rumah kontrakan itu rumah ibu dan warisan almarhum bapak saya. Tidak ada hubungan antara nafkah dengan kontrakan.”

“Ada uang saya di sana! Saya berhak atas rumah itu!” seru Haikal.

“Memang benar, tapi … hanya sekitar lima puluh, sedangkan ibu saya mengeluarkan uang seratus lebih untuk membangun rumah,” tutur Dinda. “Dan selama lima tahun menikah, kami tinggal di rumah itu tanpa membayar listrik atau air. Anggap saja semuanya impas!”

Dinda kesal dan mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa dibantah oleh Haikal. Ketika matanya beradu. Haikal terlihat kaget, tak percaya kalau calon mantan istrinya mampu berbicara selantang itu dan tanpa ragu. Mediator pun hanya mengangguk mendengar Dinda.

“Seorang istri harusnya membantu suami saat kesusahan. Usaha saya sedang rugi tapi malah mengajukan gugatan,” keluh Haikal.

“Apakah seorang istri hanya menerima kesusahan suami, Bu?” tanya Dinda mengarahkan wajahnya ke Mediator. “Sedangkan ketika dia mendapatkan keuntungan besar, lupa dengan istri, bahkan menikah lagi, gitu,” seloroh Dinda menatap Haikal.

Mediator berusaha menengahi mereka. Menasihati dan memberi pengertian atas kemelut rumah tangga yang tengah dihadapi Dinda dan Haikal. Memberi wejangan, atas pengalamannya menjadi mediator puluhan pasang suami istri. Di tengah pembicaraan, Haikal menyela.

“Saya ingin minta hak asuh anak saya!”

Dinda menatap Haikal dengan penuh kebencian. Rasa bencinya menyeruak tatkala mengingat apa yang selama ini dia alami. Dinda hampir kehilangan janinnya saat memasuki usia kehamilan 20 minggu dan suaminya tidak menemani saat rawat inap di rumah sakit. Tidak pernah menemani kontrol kehamilan. Setelah persalinan selesai, Haikal pergi meninggalkan Dinda dengan alasan mengurus ari-ari, tetapi tidak kembali ke klinik. Hingga bayinya diazani oleh adik Dinda. Biaya persalinan tidak sepeser pun dia bantu. Kehadirannya tidak pernah ada kala Rasa tengah sakit. Lalu, tiba-tiba dengan lancang meminta hak asuh.

“Bangsat!” rutuk Dinda dalam hati.

“Anak usia di bawah satu tahun masih harus dalam pengawasan Ibu, karena mas ….” Penjelasan Mediator terputus karena Haikal menyela.

 “Dia menghalangi saya dekat dengan Rasa! Dia memblockir nomor saya,” cecar Haikal.

“Memang benar, Bu, saya memblockir nomornya karena saya merasa terganggu,” jelas Dinda. “Dia dan istrinya sering kali mencecar saya dengan tuduhan yang tidak menyenangkan. Meneror saya dengan perkataan kasar,” urai Dinda.

“Tapi … kalau Ibu memblockir nomornya, itu akan memberatkan Ibu dalam perkara hak asuh,” jelas Mediator.

“Saya memang berniat membuka blokir jika sudah ada kejelasan hukum. Setelah gugatan cerai saya diproses, seperti saat ini.” Dinda mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai berkutat menyentuh layar. “Saya sudah buka blockir nomornya, Ibu bisa lihat sendiri.”

Dinda menunjukkan telepon genggamnya kepada Mediator. Tak lupa memperlihatkannya kepada Haikal yang kini tidak dapat berkata apa-apa. Wajah Haikal kian tak percaya, kalau Dinda dapat menyanggah setiap pernyataannya. Mediator pun kembali menjelaskan tentang hukum yang berlaku terkait hak asuh pasca perceraian. Namun, lagi, Haikal menyela tanpa aturan.

“Dia, hanya seorang karyawan swasta tidak akan sanggup menafkahi. Saya bisa menjamin kehidupan anak lebih baik karena saya seorang pengusaha. Meskipun saat ini masih merintis. Jadi, lebih berhak atas hak asuh anak saya,” seloroh Haikal.

“Pak! Saya sudah bilang, tidak semudah itu perkara hak asuh di bawah umur, sepert ….”

Ucapan Mediator terputus. Lagi, Haikal memotong penjelasan tanpa sopan. Menggambarkan orang yang tidak memiliki etika. Dia meracau seolah mengerti hukum di hadapan seorang Hakim Mediasi. Membuatnya terlihat seperti tong kosong nyaring bunyinya. Hingga akhirnya Dinda buka suara.

“Bapak Haikal yang terhormat! Jika Bapak ingin mengambil hak asuh. Silahkan Bapak mengajukan gugatan hak asuh. Sa-ya dengan senang hati akan meladeni Bapak dipersidangan!” tantang Dinda.

Haikal tidak dapat berkutik ketika Dinda berbicara lugas seperti itu. Ditambah penjelasan pasal-pasal yang disampaikan oleh Mediator terkait hak asuh.

“Ibu, untuk nafkah idah saya masukkan berapa rupiah untuk setiap bulannya?” tanya Juru Tulis.

“Tidak usah, Mba! Saya masih sanggup menafkahi diri dan anak saya,” jawab Dinda melihat ke arah Haikal.

Akhirnya, mereka masuk dalam tahapan akhir yaitu pembacaan putusan. Hakim Mediasi membacakan detail perkara gugatan, beserta putusan yang telah dicetak. Hasilnya; hak asuh jatuh ke tangan Dinda, tidak ada nafkah idah, dan akan melanjutkan sidang selanjutnya. Mereka tengah mengemasi barang dan hendak beranjak dari ruangan. Tiba-tiba Mediator menyentuh tangan Dinda hingga kembali terduduk.

“Sabar, ya, Ndu. Kamu masih muda, insyaallah dapat ganti yang lebih baik.”

“Terima kasih banyak, ya, Bu,ucap Dinda.

“Kamu cantik dan mandiri. Banyak yang antri, nanti, canda Mediator.

Seulas senyum tersungging di bibir Dinda. Namun, tidak demikian dengan Haikal yang mendengar percakapan mereka dihadapannya. Wajah Haikal muram. Kesombongannya luntur bersamaan dengan perubahan Dinda yang tak pernah dia sangka.

***

“Ah, Gila! Haikal gak tau malu banget ngomong begitu. Minta hak rumah! Emang dia siapa? Dia bantu bangun rumah juga kan hasil utang. Seingatku, Kakak yang ikut bayarin hutang-hutangnya, kan. Sumpah! Baru kali ini nemenuin lelaki gak tau malu kaya gitu!” sosor Adik Dinda geram di atas motor.

“Emang kamu dengar, Dek?”

“Iya, dengar. Pintu ruangan tidak tertutup rapat. Jadi selama Kakak di dalam, aku dengar semuanya. Asli, kesal banget sama itu orang. Aku gak ngebayangin kalau jadi Kakak di dalam.”

Sumpah! Rasanya tuh mau nabok. Apalagi waktu ngebahas Rasa. Eh, tapi, Kakak gak nyangka bisa ngeluarin pernyataan yang bikin si kunyuk itu diem.”

Selama perjalanan menuju rumah, Dinda dan adiknya masih terus membahas tabiat asli calon mantan suaminya. Ternyata, selama ini kebaikan dan keloyalan Haikal, palsu. Semuanya hanya pencitraan. Niat sebenarnya menikahi Dinda adalah menguasai rumah warisan. Dia tersenyum lega karena menang telak dalam persidangan pertama. Kali ini, dia yakin intuisinya tepat—akan terbebas dari jerat lelaki berengsek seperti Haikal.

 

 

 

Bersambung ….

INTUISI #4 Ruang Mediasi INTUISI #4 Ruang Mediasi Reviewed by Dwi Noviyanti on July 16, 2022 Rating: 5

No comments:

Followers

Powered by Blogger.