“Sial! gara-gara si kunyuk datang, jadi lama
begini, kan, huh.”
Dinda
menggerutu kala petugas pengadilan menggiringnya mengarah ke sebuah ruangan.
Terlebih lagi adiknya tidak diperkenankan masuk. Tidak ada yang akan
membantunya jika Haikal melakukan sesuatu yang tidak diinginkan dalam ruangan
itu. Akhirnya Dinda tiba di depan ruangan yang daun pintunya
tertulis—Ruang Mediasi.
Mereka berdua
disambut oleh dua wanita beda usia. Duduk
berhadapan di kedua ujung meja panjang nan besar. Wanita yang berusia setengah
baya mempersilakan Dinda dan Haikal duduk. Duduk dikedua sisinya hingga saling
berhadapan. Beliau adalah Hakim Mediasi—mediator—membantu menengahi perkara
perceraian, menempuh jalur damai—rujuk.
Mediator
memperkenalkan wanita yang berada di ujung meja, sebagai juru tulis. Sebelum mediasi dimulai, mediator menyampaikan bahwa ada biaya untuk cetak hasil putusan ruang mediasi. Dinda
dengan cekatan membuka dompet dan mengeluarkan uang sejumlah yang disebutkan.
“Bapak yang
bayar dong. Biaya gugatan sudah ditanggung ibu, masa masih ibunya juga yang
bayar,” sindir Mediator.
Haikal
terpaksa mengeluarkan uang dari saku jeans yang paling kecil dengan sedikit
usaha. Hingga keluar selembar uang berwarna merah kumal dan lecek. Dinda pun
kembali memasukkan uang yang sudah dia letakkan di meja ke dalam dompetnya.
Mediator
memulai mediasi dengan membaca berkas perkara gugatan dan mulai membujuk Dinda
dan Haikal. Namun, Dinda tetap pada pendiriannya, berpisah. Lagi, Haikal
mengutarakan pernyataannya terkait sarapan—kopi dan teh, yang tidak disuguhkan.
Seolah hal tersebut dapat membenarkan perbuatannya yang menikah lagi tanpa
seizin Dinda.
“Apa yang
sebenarnya terjadi?” tanya Mediator kepada Dinda.
“Sudah
lebih dari tiga bulan, dia tidak memberikan nafkah. Untung saya bekerja
sehingga bisa membeli susu dan kebutuhan anak,” jelas Dinda.
“Saya
memang tidak memberi nafkah karena usaha saya sedang rugi. Lagian ada uang
kontrakan untuk menafkahi anak saya,” sanggah Haikal.
Dinda
memicingkan mata ke arah Haikal setelah mendengar sanggahannya, lalu membantah,
“Maaf, Bu, rumah kontrakan itu rumah ibu dan warisan almarhum bapak saya. Tidak
ada hubungan antara nafkah dengan kontrakan.”
“Ada uang
saya di sana! Saya berhak atas rumah itu!” seru Haikal.
“Memang
benar, tapi … hanya sekitar lima puluh, sedangkan ibu saya mengeluarkan uang
seratus lebih untuk membangun rumah,” tutur Dinda. “Dan selama lima tahun menikah,
kami tinggal di rumah itu tanpa membayar listrik atau air. Anggap saja semuanya
impas!”
Dinda kesal
dan mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa dibantah oleh Haikal. Ketika
matanya beradu. Haikal terlihat kaget, tak percaya kalau calon mantan istrinya mampu
berbicara selantang itu dan tanpa ragu. Mediator pun hanya mengangguk mendengar
Dinda.
“Seorang
istri harusnya membantu suami saat kesusahan. Usaha saya sedang rugi tapi malah
mengajukan gugatan,” keluh Haikal.
“Apakah
seorang istri hanya menerima kesusahan suami, Bu?” tanya Dinda mengarahkan
wajahnya ke Mediator. “Sedangkan ketika dia mendapatkan keuntungan besar, lupa
dengan istri, bahkan menikah lagi, gitu,” seloroh Dinda menatap Haikal.
Mediator berusaha menengahi mereka. Menasihati dan memberi pengertian
atas kemelut rumah tangga yang tengah dihadapi Dinda dan Haikal. Memberi
wejangan, atas pengalamannya menjadi mediator puluhan pasang suami istri. Di
tengah pembicaraan, Haikal menyela.
“Saya ingin minta hak asuh anak saya!”
Dinda menatap Haikal dengan penuh kebencian. Rasa bencinya menyeruak tatkala mengingat apa yang selama ini dia alami. Dinda hampir kehilangan janinnya saat memasuki usia kehamilan 20 minggu dan suaminya tidak menemani saat rawat inap di rumah sakit. Tidak pernah menemani kontrol kehamilan. Setelah persalinan selesai, Haikal pergi meninggalkan Dinda dengan alasan mengurus ari-ari, tetapi tidak kembali ke klinik. Hingga bayinya diazani oleh adik Dinda. Biaya persalinan tidak sepeser pun dia bantu. Kehadirannya tidak pernah ada kala Rasa tengah sakit. Lalu, tiba-tiba dengan lancang meminta hak asuh.
“Bangsat!” rutuk Dinda dalam hati.
“Anak usia
di bawah satu tahun masih harus dalam pengawasan Ibu, karena mas ….” Penjelasan
Mediator terputus karena Haikal menyela.
“Dia menghalangi saya dekat dengan Rasa! Dia
memblockir nomor saya,” cecar Haikal.
“Memang
benar, Bu, saya memblockir nomornya karena saya merasa terganggu,” jelas Dinda.
“Dia dan istrinya sering kali mencecar saya dengan tuduhan yang tidak
menyenangkan. Meneror saya dengan perkataan kasar,” urai Dinda.
“Tapi …
kalau Ibu memblockir nomornya, itu akan memberatkan Ibu dalam perkara hak
asuh,” jelas Mediator.
“Saya
memang berniat membuka blokir jika sudah ada kejelasan hukum. Setelah gugatan
cerai saya diproses, seperti saat ini.” Dinda mengeluarkan telepon genggamnya
dan mulai berkutat menyentuh layar. “Saya sudah buka blockir nomornya, Ibu bisa
lihat sendiri.”
Dinda menunjukkan
telepon genggamnya kepada Mediator. Tak lupa memperlihatkannya kepada Haikal
yang kini tidak dapat berkata apa-apa. Wajah Haikal kian tak percaya, kalau
Dinda dapat menyanggah setiap pernyataannya. Mediator pun kembali menjelaskan
tentang hukum yang berlaku terkait hak asuh pasca perceraian.
Namun, lagi, Haikal menyela tanpa aturan.
“Dia, hanya seorang karyawan swasta tidak akan sanggup menafkahi. Saya bisa menjamin kehidupan anak lebih
baik karena saya seorang pengusaha.
Meskipun saat ini masih merintis. Jadi, lebih berhak atas hak asuh anak saya,”
seloroh Haikal.
“Pak! Saya sudah
bilang, tidak semudah itu perkara hak asuh di bawah umur, sepert ….”
Ucapan Mediator
terputus. Lagi, Haikal
memotong penjelasan tanpa sopan. Menggambarkan orang yang tidak memiliki etika.
Dia meracau seolah mengerti hukum di hadapan seorang Hakim Mediasi. Membuatnya
terlihat seperti tong kosong nyaring bunyinya. Hingga akhirnya Dinda buka
suara.
“Bapak
Haikal yang terhormat! Jika Bapak ingin mengambil hak asuh. Silahkan Bapak
mengajukan gugatan hak asuh. Sa-ya dengan senang hati akan meladeni Bapak
dipersidangan!” tantang Dinda.
Haikal tidak dapat berkutik ketika Dinda berbicara lugas seperti itu. Ditambah penjelasan pasal-pasal yang disampaikan oleh Mediator terkait hak asuh.
“Ibu, untuk nafkah idah saya masukkan berapa rupiah untuk setiap bulannya?” tanya Juru Tulis.
“Tidak usah, Mba! Saya masih sanggup menafkahi diri dan anak saya,” jawab Dinda melihat ke
arah Haikal.
Akhirnya, mereka
masuk dalam tahapan akhir yaitu pembacaan putusan. Hakim Mediasi membacakan
detail perkara gugatan, beserta putusan yang telah dicetak. Hasilnya; hak asuh jatuh ke tangan Dinda, tidak ada
nafkah idah, dan akan melanjutkan sidang selanjutnya. Mereka tengah mengemasi barang dan hendak beranjak dari
ruangan. Tiba-tiba
Mediator menyentuh tangan Dinda hingga kembali terduduk.
“Sabar, ya,
Ndu. Kamu masih muda, insyaallah dapat ganti yang lebih baik.”
“Terima
kasih banyak, ya, Bu,” ucap Dinda.
“Kamu
cantik dan mandiri. Banyak yang antri, nanti,” canda Mediator.
Seulas
senyum tersungging di bibir Dinda. Namun, tidak demikian dengan Haikal yang
mendengar percakapan mereka dihadapannya. Wajah Haikal muram. Kesombongannya
luntur bersamaan dengan perubahan Dinda yang tak pernah dia sangka.
***
“Ah, Gila!
Haikal gak tau malu banget ngomong begitu. Minta hak rumah! Emang dia siapa?
Dia bantu bangun rumah juga kan hasil utang. Seingatku, Kakak yang ikut
bayarin hutang-hutangnya, kan. Sumpah! Baru kali ini nemenuin lelaki gak tau malu
kaya gitu!” sosor Adik Dinda geram di atas motor.
“Emang kamu
dengar, Dek?”
“Iya, dengar.
Pintu ruangan tidak tertutup rapat. Jadi selama Kakak di dalam, aku dengar
semuanya. Asli, kesal banget sama itu orang. Aku gak ngebayangin kalau
jadi Kakak di dalam.”
“Sumpah! Rasanya tuh mau nabok. Apalagi waktu ngebahas
Rasa. Eh, tapi, Kakak gak nyangka bisa ngeluarin pernyataan yang bikin si
kunyuk itu diem.”
Selama perjalanan menuju rumah, Dinda dan adiknya masih terus membahas tabiat asli calon mantan suaminya. Ternyata, selama ini kebaikan dan keloyalan Haikal, palsu. Semuanya hanya pencitraan. Niat sebenarnya menikahi Dinda adalah menguasai rumah warisan. Dia tersenyum lega karena menang telak dalam persidangan pertama. Kali ini, dia yakin intuisinya tepat—akan terbebas dari jerat lelaki berengsek seperti Haikal.
Bersambung ….
No comments: