Dinda kelesah sepanjang waktu. Setelah pertemuan yang tak terduga dengan Haikal di kamar tempo lalu. Dia terpaksa bohong karena mengenal tabiat suaminya. Seandainya dia menyerahkan buku nikah dan menyerahkan urusan perceraian kepada Haikal. Dinda tidak akan pernah terlepas dari belenggu lelaki bajingan sepertinya.
Dia ingin berpisah tapi takut kalau Rasa
akan diambil paksa. Ketakutan kian bertambah tatkala Haikal
mengintimidasinya melalui pesan singkat.
“Di pengadilan kamu akan kalah. Pengadilan
akan menyerahkan Rasa ke aku—ayahnya, karena mampu menafkahi dia dengan cukup.
Kamu hanya seorang karyawan, jadi siapkan diri kamu untuk berpisah dengan Rasa.
Atau … kalau kamu mau tau gimana memenangi hak asuh, kamu datang ke rusun Ibu.”
Dinda tidak termakan perangkap Haikal.
Namun, pesan singkat tersebut membuat mental Dinda terpengaruh. Dia tidak dapat
berpikir dan hanya menangis. Rasa yang tengah menyusu dalam pangkuannya pun
gelisah dan turut menangis bersamanya.
Seorang teman memberi saran untuk mendatangi Kantor Pengadilan Agama. Menanyakan langsung kepada petugas pengadilan tata cara mengajukan gugatan cerai. Sayang, teman tersebut tidak dapat menemani karena anaknya tengah sakit. Dinda pun pergi seorang diri dengan map berisi surat nikah dan KTP berupa asli beserta salinannya. Dalam map tersebut terdapat pula sebundel bukti perselingkuhan yang dia cetak dan bukti-bukti lainnya.
“Ma,
doain ya, biar semuanya lancar,” kata Dinda meminta restu Mama.
“Iya, Din, Mama selalu doain kamu.
Semoga semuanya lancar, ya."
“Amin,” ujar Dinda. “Anak Mama salim
dong. Ciumnya mana, satunya. Rasa jangan nakal, ya. Mama pergi dulu, dadah,” tuturnya seraya pamit.
***
Pintu pengadilan yang hanya terbuat dari
kaca begitu menakutkan bagi Dinda. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia harus
menenangkan dirinya terlebih dulu. Menjauh dari pintu dan mengatur nafas. Setelah
tenang dia pun beranjak membuka pintu Kantor Pengadilan Agama.
“Bissmillahirrohanirrohim,” ujar Dinda
gugup.
Daun pintu yang terbuka memberi atmosfer
yang sangat berbeda dari luar dan dari imajinasinya. Ternyata di dalam ruangan
sangat ramai. Seorang petugas keamanan menghampirinya dan meminta pindah karena
dia menghalangi pengunjung yang hendak masuk. Dinda diarahkan menuju layar
monitor untuk mengambil nomor antrian.
Dalam layar monitor tersaji beberapa
kotak berisi tulisan; Kasir, Pengambilan Berkas, Konsultasi, Pendaftaran,
Bantuan Hukum, dan Ruang Sidang. Di tengah kebingungan dia menyentuh kotak
bertuliskan pendaftaran, lalu keluar lembar antrian. Dinda menunggu di kursi
yang telah disediakan.
Ternyata kotak berisi tulisan dalam layar
monitor merupakan daftar layanan Kantor Pengadilan Agama. Setiap layanan
terdiri dari satu meja dan seorang petugas akan membantu pengunjung yang
membutuhkan bantuan. Meja-meja layanan tersebut berjejer dan hampir semua
layanan tengah melayani pengunjung.
Tak lama nomor antrian Dinda dipanggil.
Dia pun melangkah menuju meja yang bertuliskan pendaftaran. Sayangnya dia salah
urutan. Meja pendaftaran hanya menerima berkas yang sudah lengkap yaitu surat
gugatan sesuai format dari bantuan hukum dan bermaterai, buku nikah, dan salinan
KTP. Membuatnya harus mengambil nomor antrian kembali untuk meja bantuan hukum.
Dinda pun kembali menunggu. Dia memendarkan
netranya. Hingga tertuju pada sudut ruangan bawah tangga yang disulap menjadi arena
bermain. Terdapat seluncuran, rumah-rumahan, dan media permainan lainnya yang
tengah dikerumuni anak-anak. Di tengah hiruk pikuk pengunjung, pendengarannya
menangkap samar ragam pembicaraan. Mereka memiliki kasus serupa dengannya. Bahkan
lebih tragis atau ada yang tengah berbunga-bunga, datang mengurus perceraian
dengan calon pasangan barunya.
“Ada yang ingin Ibu sampaikan lagi
selain nafkah dan perihal hutang suami,” tanya petugas di meja bantuan hukum.
“Kalau soal hak asuh bagaimana, Pak?”
tanyanya. “Dia bilang akan mengambil hak asuh, saya takut anak saya dibawa,”
ujar Dinda.
“Anak Ibu belum genap satu tahun.
Otomatis hak asuh jatuh ke tangan Ibu.”
“Gitu, ya, Pak. Sebenarnya dia sudah
menikah lagi, saya melihat buku nikahnya. Memang bisa menikah di KUA, sementara
statusnya masih menjadi suami saya?”
“Sebenarnya tidak bisa, kecuali hanya
nikah siri. Jika ingin menikah lagi dan diakui negara. Pihak suami harus
mendapatkan izin dari istri pertamanya. Disaksikan oleh petugas pengadilan atau
ada bukti tertulis hitam di atas putih. Kalau kasusnya seperti yang Ibu katakan.
Ibu bisa mengajukan gugatan pembatalan nikah.”
“Tidak! Tidah usah, Pak, saya mau cerai
saja,” ujar Dinda.
Petugas menyerahkan dua lembar format
gugatan yang telah diketik sesuai kronologis yang Dinda sampaikan. Kemudian
menempelkan materai, lalu ditandatangani olehnya. Kemudian petugas bantuan
hukum mengarahkan Dinda untuk menyerahkan berkas ke meja pendaftaran tanpa
perlu mengambil nomor antrian.
Setelah berkas diserahkan, Dinda diminta
melakukan pembayaran panjar—biaya perkara. Besarannya sesuai perkara dan
ditentukan oleh pihak pengadilan. Kemudian menerima bukti pembayaran dan kartu
kecil berisi kode QR yang bisa diakses melalui website Kantor Pengadilan Agama.
Berisi nomor perkara, keadaan perkara, jadwal sidang, amar putusan, penerbitan
akta cerai, dan salinan putusan.
“Alhamdulillah ….”
Dinda berucap syukur ketika sudah berada
di luar kantor pengadilan. Kini dia harus mempersiapkan diri untuk pertarungan
yang sebenarnya di ruang meja hijau.
Bersambung
….
Sedih, semoga segala urusan dmudhkn. Asyik bgt bc tulisannya, ringan pdhl ksusnya berat wah keren
ReplyDelete