Selepas persidangan
pertama, Haikal mangkir dari semua sidang lanjutan. Mungkin, sudah tidak punya
muka bertemu dengan Dinda. Wanita yang dulu selalu memaafkan semua perbuatan
buruk dan menuruti setiap keinginannya. Namun, dalam beberapa bulan
ditelantarkan, menjelma menjadi wanita tangguh yang tidak dikenalinya.
“Alhamdulillah.”
Rasa syukur Dinda
tak terbendung kala memegang map berwarna hijau dengan background Kantor
Pengadilan Agama. Berisi akta cerai dan berkas putusan hasil sidang gugatan
yang selama ini dijalani olehnya. Tidak pernah terpikirkan bahwa menghirup
udara berpolusi di luar gedung yang belakangan sering dikunjungi, serasa sangat
menyenangkan. Dia disambut dengan langit biru yang dihiasi awan putih yang
berarak. Secercah harapan membumbung tinggi dalam benaknya. Dia dan Rasa akan
menikmati hari tanpa benalu dalam kehidupan mereka.
***
Waktu berlalu, kehidupan Dinda kian
menyenangkan bersama Rasa.
Meskipun terkadang
Haikal masih membayangi kehidupannya melalui telepon genggam
khusus. Perangkat yang Dinda sediakan untuk komunikasi antara Rasa dan Haikal.
“Dasar wanita
sundal, bisa-bisanya lu nendang gue kaya sampah begini. Daripada dulu bangun
rumah lu, mending gue pake aja tidur sama perek. Tujuh turunan gue gak akan
terima diperlakukan begini sama lu dan keluarga lu, inget itu!”
“Sayang maafin aku
ya, terima kasih udah hadir dikehidupanku.”
“Dasar keluarga gak
tau terima kasih. Lupa sama apa yang gue kasih. Lu ingat gak waktu adik lu
nikahan, siapa yang keluarin uang banyak, gue! Terus yang ngurus makam bapak
lu, siapa kalo bukan gue. Kalo bukan karena gue derajat lu dan keluarga lu gak
bisa kaya sekarang. Bisa-bisanya kalian perlakuin gue kaya gini.”
“Bunda, bagaimana
pun, Rasa anak kita berdua. Aku mau kita tetap berhubungan baik. Semuanya demi
Rasa. Kamu sayang kan sama dia. Kita harus urus Rasa bareng-bareng. Tolong
lupain semuanya dan maafin aku.”
Kerap kali Haikal
bertingkah konyol dalam pesan singkat yang dia kirim. Dinda sama sekali tidak
menggubrisnya sedikit pun. Hingga isi pesannya terlihat seperti psikopat.
Setelah memaki dan mengumpat dia akan mengirim kalimat penyesalan. Bahkan
mengemis maaf dari Dinda.
***
Lima bulan berlalu
pasca perceraian. Dinda baru sempat membenahi kamar. Mengobrak abrik seisi
kamar. Dia ingin mengganti suasana baru karena masih terendus jejak mantan
suaminya—barang-barangnya masih banyak tertinggal. Bahkan,
ternyata, diam-diam Haikal menyimpan senjata tajam—air soft gun, belati, dan pedang tanpa sepengetahuannya.
Dinda sama sekali tidak
menyangka kalau mantan suaminya menyimpan senjata berbahaya dalam kamarnya.
Untuk apa? Dinda bergidik memikirkan kemungkinan, kalau senjata-senjata itu
digunakan untuk menyakitinya. Lalu ketika sedang mengeluarkan lemari kunci yang
tak terpakai dan beralih fungsi sebagai tatakan televisi. Dia menemukan sebuah
kotak merah kecil seukuran kotak cincin. Dinda pun ingin membukanya.
“Dinda …! Tolong jaga Rasa dulu.
Mama diminta tolong sama tetangga, turun dulu Din!” seru Mama.
Dinda memasukkan kotak kecil
tersebut dalam saku celananya. Lalu turun ke bawah menemani Rasa. Bercengkrama dengan anak semata wayang dan menyuapinya
makan. Tak lama kemudian, Mama kembali ke rumah. Dinda kembali ke atas dan
melanjutkan membenahi kamar.
***
Suatu malam, entah
kenapa Dinda terusik dengan album foto pernikahannya dengan Haikal. Ketika
membuka tiap lembar, kebencian kian membuncah. Hingga ketika melihat foto
Haikal, dia akan memenggal kepalanya. Lalu merobek wajahnya tanpa ada yang
tersisa. Sampah robekan foto dan album, Dinda buang di tempat sampah bawah. Berharap segera
diambil oleh petugas kebersihan lingkungan.
“Dinda! Kamu apa-apaan sih,
kenapa foto-foto dan album
pernikahan, kamu rusak seperti itu?” tanya Mama. “Kenapa wajah si Haikal semuanya dirobek!” seru Mama kesal.
Dinda tidak menjawab pertanyaan Mama
yang lebih tepat seperti
menyalahkan dirinya. Pertanyaan itu menohok hati Dinda. Mama seharusnya
berempati terhadap perasaan anak perempuannya.
Sayatan luka terhadap pertanyaan
Mama tentang foto album belum sepenuhnya
pulih. Namun, Mama kembali mengatakan hal yang membuat luka baru yang tak kalah
menyakitkan.
“Haikal apa kabarnya ya? Apa dia
tinggal sama ibunya. Kan dulu dia diusir sama ibunya. Kamu engga cari tahu
kabarnya Din? Gimana pun dia kan ayahnya Rasa. Kamu harus baik dengannya.”
Suapan nasi yang hendak masuk ke
dalam mulutnya terhenti. Perkataan
Mama membuyarkan otaknya yang ingin makan dengan tenang dan khusyuk. Dinda
tidak berkata apa-apa. Selera makannya
hilang seketika. Dia menyudahi makannya yang masih tersisa banyak dalam piring.
Menenggak air lalu membawa Rasa ke kamar. Meninggalkan Mama dengan pertanyaan
dalam benaknya.
Hari-hari berlalu
begitu sunyi. Dinda mogok bicara dengan Mamanya. Dia enggan berkomunikasi
dengan wanita yang sudah melahirkannya.
Hanya percakapan penting saja yang ditanggapi. Mama menyadari kalau anaknya tengah menghindari dirinya. Namun,
bingung, apa yang menyebabkan Dinda
seperti itu.
“Din, kamu di undang sama Bu Lis,
dia menikahkan anaknya yang teman SMP kamu dulu,”
kata Mama.
“Si Ikal akhirnya nikah juga,” gumam Dinda.
“Nanti, kita kondangan bareng,
y-a,” ucap Mama Ragu. “Mama, ga ngerti kalau nikahan di gedung,” tutur Mama.
Dinda tidak menjawab dan hanya
mengangguk. Dia meraih
Rasa dari gendongan Mama dan berlalu menuju kamar. Dia masih belum dapat memaafkan Mama yang telah menyakiti hatinya.
Padahal sudah sering dia ceritakan seberapa jahat mantan suaminya. Mama pun
kaget dan takut ketika tahu Haikal menyembunyikan senjata tajam dalam kamar.
Namun, masih sayang dan perhatian seperti masih menjadi menantunya.
Tibalah hari untuk menghadiri
undangan. Dinda dan Rasa sudah bersiap dan turun menemui Mama yang sedang
merapihkan riasan dalam
pantulan cermin. Setelah selesai,
dia mengeluarkan sebuah kotak merah kecil
dari dalam lemari. Dinda terkejut dan secepat kilat meraih paksa dari tangan
Mama.
“Kotak ini kok, ada
sama Mama?”
“Mama pungut di
dekat mainan Rasa.”
Dinda membuka kotak
merah kecil tersebut. Terdapat sebuah minyak wangi dalam botol kecil seukuran
jentik. Wanginya menyengat.
“Itu minyak wangi
buat Mama, kan. Jadi Mama pakai setiap pergi pengajian dan kondangan.”
Dinda membongkar
setiap inci dalam kotak merah kecil tersebut. Ternyata, selain minyak wangi
terdapat batu akik merah dengan ukuran sekuku jari telunjuk. Lalu secarik
kertas usang yang sangat rapuh hingga tak jelas terbaca apa tulisannya.
“Mungkin, ini yang
Haikal pakai sebagai Media Pengasihan,”
tutur batin Dinda.
Tamat
Wah, ternyata ada misteri di-endingnya.
ReplyDeleteHooh, jadi memenuhi kriteria ya, untuk tantangan cerbung kali ini, he-he-he
ReplyDelete