INTUISI #5 Media Pengasihan

 


Selepas persidangan pertama, Haikal mangkir dari semua sidang lanjutan. Mungkin, sudah tidak punya muka bertemu dengan Dinda. Wanita yang dulu selalu memaafkan semua perbuatan buruk dan menuruti setiap keinginannya. Namun, dalam beberapa bulan ditelantarkan, menjelma menjadi wanita tangguh yang tidak dikenalinya.

“Alhamdulillah.

Rasa syukur Dinda tak terbendung kala memegang map berwarna hijau dengan background Kantor Pengadilan Agama. Berisi akta cerai dan berkas putusan hasil sidang gugatan yang selama ini dijalani olehnya. Tidak pernah terpikirkan bahwa menghirup udara berpolusi di luar gedung yang belakangan sering dikunjungi, serasa sangat menyenangkan. Dia disambut dengan langit biru yang dihiasi awan putih yang berarak. Secercah harapan membumbung tinggi dalam benaknya. Dia dan Rasa akan menikmati hari tanpa benalu dalam kehidupan mereka.

***

Waktu berlalu, kehidupan Dinda kian menyenangkan bersama Rasa. Meskipun terkadang Haikal masih membayangi kehidupannya melalui telepon genggam khusus. Perangkat yang Dinda sediakan untuk komunikasi antara Rasa dan Haikal.

“Dasar wanita sundal, bisa-bisanya lu nendang gue kaya sampah begini. Daripada dulu bangun rumah lu, mending gue pake aja tidur sama perek. Tujuh turunan gue gak akan terima diperlakukan begini sama lu dan keluarga lu, inget itu!”

“Sayang maafin aku ya, terima kasih udah hadir dikehidupanku.”

“Dasar keluarga gak tau terima kasih. Lupa sama apa yang gue kasih. Lu ingat gak waktu adik lu nikahan, siapa yang keluarin uang banyak, gue! Terus yang ngurus makam bapak lu, siapa kalo bukan gue. Kalo bukan karena gue derajat lu dan keluarga lu gak bisa kaya sekarang. Bisa-bisanya kalian perlakuin gue kaya gini.”

“Bunda, bagaimana pun, Rasa anak kita berdua. Aku mau kita tetap berhubungan baik. Semuanya demi Rasa. Kamu sayang kan sama dia. Kita harus urus Rasa bareng-bareng. Tolong lupain semuanya dan maafin aku.”

Kerap kali Haikal bertingkah konyol dalam pesan singkat yang dia kirim. Dinda sama sekali tidak menggubrisnya sedikit pun. Hingga isi pesannya terlihat seperti psikopat. Setelah memaki dan mengumpat dia akan mengirim kalimat penyesalan. Bahkan mengemis maaf dari Dinda.

***

Lima bulan berlalu pasca perceraian. Dinda baru sempat membenahi kamar. Mengobrak abrik seisi kamar. Dia ingin mengganti suasana baru karena masih terendus jejak mantan suaminyabarang-barangnya masih banyak tertinggal. Bahkan, ternyata, diam-diam Haikal menyimpan senjata tajamair soft gun, belati, dan pedang tanpa sepengetahuannya.

Dinda sama sekali tidak menyangka kalau mantan suaminya menyimpan senjata berbahaya dalam kamarnya. Untuk apa? Dinda bergidik memikirkan kemungkinan, kalau senjata-senjata itu digunakan untuk menyakitinya. Lalu ketika sedang mengeluarkan lemari kunci yang tak terpakai dan beralih fungsi sebagai tatakan televisi. Dia menemukan sebuah kotak merah kecil seukuran kotak cincin. Dinda pun ingin membukanya.

“Dinda …! Tolong jaga Rasa dulu. Mama diminta tolong sama tetangga, turun dulu Din!” seru Mama.

Dinda memasukkan kotak kecil tersebut dalam saku celananya. Lalu turun ke bawah menemani Rasa. Bercengkrama dengan anak semata wayang dan menyuapinya makan. Tak lama kemudian, Mama kembali ke rumah. Dinda kembali ke atas dan melanjutkan membenahi kamar.

***

Suatu malam, entah kenapa Dinda terusik dengan album foto pernikahannya dengan Haikal. Ketika membuka tiap lembar, kebencian kian membuncah. Hingga ketika melihat foto Haikal, dia akan memenggal kepalanya. Lalu merobek wajahnya tanpa ada yang tersisa. Sampah robekan foto dan album, Dinda buang di tempat sampah bawah. Berharap segera diambil oleh petugas kebersihan lingkungan.

“Dinda! Kamu apa-apaan sih, kenapa foto-foto dan album pernikahan, kamu rusak seperti itu?” tanya Mama. “Kenapa wajah si Haikal semuanya dirobek!” seru Mama kesal.

Dinda tidak menjawab pertanyaan Mama yang lebih tepat seperti menyalahkan dirinya. Pertanyaan itu menohok hati Dinda. Mama seharusnya berempati terhadap perasaan anak perempuannya.

Sayatan luka terhadap pertanyaan Mama tentang foto album belum sepenuhnya pulih. Namun, Mama kembali mengatakan hal yang membuat luka baru yang tak kalah menyakitkan.

“Haikal apa kabarnya ya? Apa dia tinggal sama ibunya. Kan dulu dia diusir sama ibunya. Kamu engga cari tahu kabarnya Din? Gimana pun dia kan ayahnya Rasa. Kamu harus baik dengannya.”

Suapan nasi yang hendak masuk ke dalam mulutnya terhenti. Perkataan Mama membuyarkan otaknya yang ingin makan dengan tenang dan khusyuk. Dinda tidak berkata apa-apa. Selera makannya hilang seketika. Dia menyudahi makannya yang masih tersisa banyak dalam piring. Menenggak air lalu membawa Rasa ke kamar. Meninggalkan Mama dengan pertanyaan dalam benaknya.

Hari-hari berlalu begitu sunyi. Dinda mogok bicara dengan Mamanya. Dia enggan berkomunikasi dengan wanita yang sudah melahirkannya. Hanya percakapan penting saja yang ditanggapi. Mama menyadari kalau anaknya tengah menghindari dirinya. Namun, bingung, apa yang menyebabkan Dinda seperti itu.

“Din, kamu di undang sama Bu Lis, dia menikahkan anaknya yang teman SMP kamu dulu, kata Mama.

Si Ikal akhirnya nikah juga,” gumam Dinda.

“Nanti, kita kondangan bareng, y-a,” ucap Mama Ragu. “Mama, ga ngerti kalau nikahan di gedung,” tutur Mama.

Dinda tidak menjawab dan hanya mengangguk. Dia meraih Rasa dari gendongan Mama dan berlalu menuju kamar. Dia masih belum dapat memaafkan Mama yang telah menyakiti hatinya. Padahal sudah sering dia ceritakan seberapa jahat mantan suaminya. Mama pun kaget dan takut ketika tahu Haikal menyembunyikan senjata tajam dalam kamar. Namun, masih sayang dan perhatian seperti masih menjadi menantunya.

Tibalah hari untuk menghadiri undangan. Dinda dan Rasa sudah bersiap dan turun menemui Mama yang sedang merapihkan riasan dalam pantulan cermin. Setelah selesai, dia mengeluarkan sebuah kotak merah kecil dari dalam lemari. Dinda terkejut dan secepat kilat meraih paksa dari tangan Mama.

“Kotak ini kok, ada sama Mama?”

“Mama pungut di dekat mainan Rasa.”

Dinda membuka kotak merah kecil tersebut. Terdapat sebuah minyak wangi dalam botol kecil seukuran jentik. Wanginya menyengat.

“Itu minyak wangi buat Mama, kan. Jadi Mama pakai setiap pergi pengajian dan kondangan.”

Dinda membongkar setiap inci dalam kotak merah kecil tersebut. Ternyata, selain minyak wangi terdapat batu akik merah dengan ukuran sekuku jari telunjuk. Lalu secarik kertas usang yang sangat rapuh hingga tak jelas terbaca apa tulisannya.

“Mungkin, ini yang Haikal pakai sebagai Media Pengasihan,” tutur batin Dinda.

 

 

Tamat

INTUISI #5 Media Pengasihan INTUISI #5 Media Pengasihan Reviewed by Dwi Noviyanti on July 17, 2022 Rating: 5

2 comments:

  1. Wah, ternyata ada misteri di-endingnya.

    ReplyDelete
  2. Hooh, jadi memenuhi kriteria ya, untuk tantangan cerbung kali ini, he-he-he

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.