INTUISI #2 Gugatan

 


Dinda kelesah sepanjang waktu. Setelah pertemuan yang tak terduga dengan Haikal di kamar tempo lalu. Dia terpaksa bohong karena mengenal tabiat suaminya. Seandainya dia menyerahkan buku nikah dan menyerahkan urusan perceraian kepada Haikal. Dinda tidak akan pernah terlepas dari belenggu lelaki bajingan sepertinya.

Dia ingin berpisah tapi takut kalau Rasa akan diambil paksa. Ketakutan kian bertambah tatkala Haikal mengintimidasinya melalui pesan singkat.

“Di pengadilan kamu akan kalah. Pengadilan akan menyerahkan Rasa ke aku—ayahnya, karena mampu menafkahi dia dengan cukup. Kamu hanya seorang karyawan, jadi siapkan diri kamu untuk berpisah dengan Rasa. Atau … kalau kamu mau tau gimana memenangi hak asuh, kamu datang ke rusun Ibu.”

Dinda tidak termakan perangkap Haikal. Namun, pesan singkat tersebut membuat mental Dinda terpengaruh. Dia tidak dapat berpikir dan hanya menangis. Rasa yang tengah menyusu dalam pangkuannya pun gelisah dan turut menangis bersamanya.

Seorang teman memberi saran untuk mendatangi Kantor Pengadilan Agama. Menanyakan langsung kepada petugas pengadilan tata cara mengajukan gugatan cerai. Sayang, teman tersebut tidak dapat menemani karena anaknya tengah sakit. Dinda pun pergi seorang diri dengan map berisi surat nikah dan KTP berupa asli beserta salinannya. Dalam map tersebut terdapat pula sebundel bukti perselingkuhan yang dia cetak dan bukti-bukti lainnya.

 “Ma, doain ya, biar semuanya lancar,” kata Dinda meminta restu Mama.

“Iya, Din, Mama selalu doain kamu. Semoga semuanya lancar, ya."

“Amin,” ujar Dinda. “Anak Mama salim dong. Ciumnya mana, satunya. Rasa jangan nakal, ya. Mama pergi dulu, dadah,” tuturnya seraya pamit.

***

Pintu pengadilan yang hanya terbuat dari kaca begitu menakutkan bagi Dinda. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia harus menenangkan dirinya terlebih dulu. Menjauh dari pintu dan mengatur nafas. Setelah tenang dia pun beranjak membuka pintu Kantor Pengadilan Agama.

“Bissmillahirrohanirrohim,” ujar Dinda gugup.

Daun pintu yang terbuka memberi atmosfer yang sangat berbeda dari luar dan dari imajinasinya. Ternyata di dalam ruangan sangat ramai. Seorang petugas keamanan menghampirinya dan meminta pindah karena dia menghalangi pengunjung yang hendak masuk. Dinda diarahkan menuju layar monitor untuk mengambil nomor antrian.

Dalam layar monitor tersaji beberapa kotak berisi tulisan; Kasir, Pengambilan Berkas, Konsultasi, Pendaftaran, Bantuan Hukum, dan Ruang Sidang. Di tengah kebingungan dia menyentuh kotak bertuliskan pendaftaran, lalu keluar lembar antrian. Dinda menunggu di kursi yang telah disediakan.

Ternyata kotak berisi tulisan dalam layar monitor merupakan daftar layanan Kantor Pengadilan Agama. Setiap layanan terdiri dari satu meja dan seorang petugas akan membantu pengunjung yang membutuhkan bantuan. Meja-meja layanan tersebut berjejer dan hampir semua layanan tengah melayani pengunjung.

Tak lama nomor antrian Dinda dipanggil. Dia pun melangkah menuju meja yang bertuliskan pendaftaran. Sayangnya dia salah urutan. Meja pendaftaran hanya menerima berkas yang sudah lengkap yaitu surat gugatan sesuai format dari bantuan hukum dan bermaterai, buku nikah, dan salinan KTP. Membuatnya harus mengambil nomor antrian kembali untuk meja bantuan hukum.

Dinda pun kembali menunggu. Dia memendarkan netranya. Hingga tertuju pada sudut ruangan bawah tangga yang disulap menjadi arena bermain. Terdapat seluncuran, rumah-rumahan, dan media permainan lainnya yang tengah dikerumuni anak-anak. Di tengah hiruk pikuk pengunjung, pendengarannya menangkap samar ragam pembicaraan. Mereka memiliki kasus serupa dengannya. Bahkan lebih tragis atau ada yang tengah berbunga-bunga, datang mengurus perceraian dengan calon pasangan barunya.

“Ada yang ingin Ibu sampaikan lagi selain nafkah dan perihal hutang suami,” tanya petugas di meja bantuan hukum.

“Kalau soal hak asuh bagaimana, Pak?” tanyanya. “Dia bilang akan mengambil hak asuh, saya takut anak saya dibawa,” ujar Dinda.

“Anak Ibu belum genap satu tahun. Otomatis hak asuh jatuh ke tangan Ibu.”

“Gitu, ya, Pak. Sebenarnya dia sudah menikah lagi, saya melihat buku nikahnya. Memang bisa menikah di KUA, sementara statusnya masih menjadi suami saya?”

“Sebenarnya tidak bisa, kecuali hanya nikah siri. Jika ingin menikah lagi dan diakui negara. Pihak suami harus mendapatkan izin dari istri pertamanya. Disaksikan oleh petugas pengadilan atau ada bukti tertulis hitam di atas putih. Kalau kasusnya seperti yang Ibu katakan. Ibu bisa mengajukan gugatan pembatalan nikah.”

“Tidak! Tidah usah, Pak, saya mau cerai saja,” ujar Dinda.

Petugas menyerahkan dua lembar format gugatan yang telah diketik sesuai kronologis yang Dinda sampaikan. Kemudian menempelkan materai, lalu ditandatangani olehnya. Kemudian petugas bantuan hukum mengarahkan Dinda untuk menyerahkan berkas ke meja pendaftaran tanpa perlu mengambil nomor antrian.

Setelah berkas diserahkan, Dinda diminta melakukan pembayaran panjar—biaya perkara. Besarannya sesuai perkara dan ditentukan oleh pihak pengadilan. Kemudian menerima bukti pembayaran dan kartu kecil berisi kode QR yang bisa diakses melalui website Kantor Pengadilan Agama. Berisi nomor perkara, keadaan perkara, jadwal sidang, amar putusan, penerbitan akta cerai, dan salinan putusan.

“Alhamdulillah ….”

Dinda berucap syukur ketika sudah berada di luar kantor pengadilan. Kini dia harus mempersiapkan diri untuk pertarungan yang sebenarnya di ruang meja hijau.  

 


 

Bersambung ….

INTUISI #2 Gugatan INTUISI #2 Gugatan Reviewed by Dwi Noviyanti on July 14, 2022 Rating: 5

1 comment:

  1. Sedih, semoga segala urusan dmudhkn. Asyik bgt bc tulisannya, ringan pdhl ksusnya berat wah keren

    ReplyDelete

Followers

Powered by Blogger.