Empat tahun lalu rumahku dipenuhi oleh orang-orang yang berbelasungkawa. Keluarga, saudara, tetangga dan rekan-rekan kerja memenuhi rumahku dengan menyiratkan kesedihan dan kenangan bersama almarhum. Aku selalu mengikuti semua prosesi pemakaman, dari mulai membacakan doa, memandikan sampai dengan mendandani almarhum. Sebelum wajahnya yang teduh tertutup dengan kain kafan, aku cium keningnya dan tersenyum memandangi wajah tenangnya menyambut dunia baru. Disaat aku menikmati pemandangan terakhir itu, tiba-tiba adikku menangis dan menjerit dihadapan jenazah, dengan sigap aku tarik adikku untuk menjauh, dan aku memperingatinya “Jangan sampai air mata jatuh di atas Bapak”
Aku terlalu sayang dengan almarhum, aku tak sampai hati memberatkan perjalanan dia dengan kesedihan dan air mata yang membuat dia susah menuju alam yang baru. Aku sudah mengikhlaskan kepergian almarhum meskipun dia satu-satunya orang yang mengerti aku didalam rumah.
Tiga hari setelah kepergiannya, adikkupun pergi meninggalkan rumah demi tanggungjawab pekerjaannya (dia dimutasi ke daerah Bandung). Seminggu berlalu, disaat saudara-saudaraku sudah kembali kerumahnya masing-masing hanya aku dan mamah yang tertinggal dirumah yang telah keluarga aku tempati selama puluhan tahun. Hampa dan sunyi amat terasa disela kelakar para tetangga yang berbincang dan bercanda dengan anggota keluarga yang utuh. Hilang canda tawa dan senyumnya, hilang rayuannya yang selalu minta dibelikan rokok disaat aku gajian dan hilang seseorang yang biasa menemaniku dikamar untuk berbagi cerita.
Disaat akhir hidupnya, aku berusaha menemani dia. Memberi semua apa yang dia inginkan. Meskipun aku sering dibentak disaat dia tak suka dengan apa yang sudah diperintahkan dokter, aku tetap sabar dan tetap coba tersenyum. Aku seperti anak kecil yang berbicara tak putus-putus, memberi tahu apa saja yang dia lihat didepan jendela dari tempat tidur rumah sakit. Aku terus berbicara meskipun tak dibalas aku tetap bicara sampai akhirnya, dia menengok kearahku dan menatapku dalam-dalam tanpa kata sepatahpun. Tiba-tiba aku terdiam sejenak memperhatikan wajahnya, memegang wajahnya dan berkata sambil tersenyum “Yanti sayang Bapak”.
Aku tahu dia terlalu sayang kepada aku sampai dia tidak mengijinkan aku untuk menemaninya disaat hembusan nafas terakhirnya. Padahal hampir 24 jam sebelum dia pergi aku bersamanya, disaat dia anfal aku masih bersamanya membisiki kalimat dua syahadat dan melafalkan nama Allah yang tak putus-putus. Tapi dia memang terlalu sayang dengan aku anak perempuan satu-satunya yang dia miliki, sehingga dia tidak membiarkan aku melihat disaat malaikat izroil mencabut nyawanya. Kini tak ada lagi kelanjutan kisah antara anak dan ayah dikehidupanku. Dan kini dirimu hanya menyisakan kenangan indah dikehidupanku.
Hmmmm,, :) mengingat ayah telah bahagia ditempat keabadian didalam rumah Allah SWT. Meskipun aku belum sepenuhnya menjadi anak yang soleha, namun aku selalu berdo’a ayah ditempatkan di sisi yang paling baik di rumah MU ya rabb. Aku janji akan menjaga dan membahagiakan mamah dan memberi kesenangan dan ketentraman di masa tua mamah, seperti apa yang kalian selalu cita-citakan meskipun kini hanya tinggal mamah yang bersamaku saat ini. Hanya surat ini yang aku persembahkan untukmu Bapak Al-Fatihah
We always love you dad :)
- your daughter, your boy
and your wife -
No comments: